• An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
  • An Image Slideshow
DIINUL-HAQ (Agama Yang Benar)   -   TATA CARA WUDHU   -   40 Majlis bersama Rasulullah   -   MERAIH HIDUP BAHAGIA

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

 

Soal:

Ini adalah soal-soal yang datang dari para pendengar, dimulai dari pengirim Ibrahim bin Maqbul, ia bertanya: Jika datang kepada Anda seorang kafir, lalu ia mengucapkan salam, apakah boleh Anda menjawabnya dengan: “wa alaika as-salam’’. Bagaimana cara menjawab yang benar?, dan apakah boleh Anda memulai mengucapkan salam?

 

Jawab:

Alhamdulillah… Tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang kafir dengan: ‘’Assalaamualaikum’’, akan tetapi jika ia mengucapkannya, Anda cukup menjawabnya dengan ucapan: ’wa alaikum’, karena Nabi SAW memerintahkan hal itu terkait dengan ahli kitab, dan yang selain mereka sama seperti mereka, jika tidak lebih rendah dari mereka.

 

Soal:

Surat ini datang dari warga yang bernama Abdullah bin Muhamad Al-Huqaibi dari Al-Quwai'iyah, ia bertanya: Sesungguhnya ia pergi haji tahun 1998 dari Al-Quwai'iyah bersama seorang sopir, namun sopir tidak mengerti tentang tata cara haji. Sayangnya kami turun pada tiga hari-hari Mina di Al-Haudh Makkah, kami menginap di sana pada malam-malam Mina, kami menyembelih hadyu (hewan sembelihan), apakah ada sangsi atas kami? Perlu diketahui bahwa kondisi saat itu tidak memungkinkan bagi kami untuk sampai ke Mina. Mohon masalah ini disampaikan kepada ahli ilmu, apa ada kewajiban kafarat atas kami, atau gugurkah haji kami?

Jawab:

Adapun menyembelih hadyu pada waktu haji, hal itu boleh saja dilakukan baik di Mina maupun di Makkah, dan boleh menyembelih di seluruh wilayah haram. Adapun tinggalnya mereka pada tiga hari-hari Mina di tempat tersebut, jika kondisinya seperti yang ia katakan, maka tidak mengapa dan tidak ada denda apapun, namun jika hal itu terjadi karena kelalaian dan ketelodoran, tidak berusaha untuk memenuhi yang semestinya dalam masalah ini, maka ia telah melakukan kesalahan yang besar. Seorang muslim wajib untuk menjaga kesempurnaan agamanya, dan mencari jalan untuk bisa sampai ke Mina hingga ia benar-benar  merasa tidak mampu lagi, karena Allah SWT tidak membebani hambanya sesuatu di luar kemampuanya, para ulama berdalil dengan ayat (yang terkait dengan ini) menyatakan bahwa tidak ada  kewajiban dalam kondisi ketidak mampuan, maka dalam hal ini tidak ada kafarat atas mereka, hanya saja mereka harus berhati-hati di masa-masa yang akan datang.

 

Soal:

Dari Hani Ambar dari Al-Aflaj, ia bertanya: Saya menunaikan haji bersama rombongan dengan mobil pribadi melalui jalan Madinah Munawwarah, dan ketika ihram seseorang berkata kepada kami: mulailah berniat seperti berikut: Allahumma labbaik umratan.  Ini terjadi pada tanggali enam  Dzulhijjah, ketika kami sampai di Makkah, kami thawaf dan sa'i antara bukit Safa dan Marwah dan bercukur kemudian tahalul, lalu kami tetap dalam kondisi tidak berihram hingga pagi hari kedelapan, kami ihram dari Mina, kemudian thawaf dan sa'i serta bermalam di Mina, kemudian kami wuquf di Arafah dan menginap di Muzdalifah, dan pada pagi hari ied kami pergi ke Baitul haram dan thawaf ifadhah kemudian pulang dan melempar jumroh Aqabah lalu tahalul dan tidak menyembelih, dan pada hari kedua dan ketiga, kami melempar tiga jumroh dan tidak menyembelih, lalu kami thawaf wada' kemudian meninggalkan Makkah menuju Riyadh. Kami adalah penduduk Riyadh. Pertanyaanya dalah: Apakah haji kami sah meski tanpa meyembelih hadyu, karena kami setelah thawaf wada' terus langsung menuju Riyadh?

Jawab:

Umrah mereka sudah benar dan tidak diragukan lagi, karena sudah sesuai dengan syariat. Adapun tentang  haji, mereka ihram dari Mina tidak masalah, namun kami tidak mengerti thawaf dan sa'i  yang mereka lakukan. Apa yang mereka maksudkan dengan thawaf dan sa'i tersebut? Jika yang mereka inginkan adalah thawaf dan sa'i haji, maka itu tidak sah karena dilakukan bukan pada waktunya, karena waktunya adalah setelah wuquf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Dengan demikian, maka keduanya sia-sia, kemudian dalam masalah ini mereka menyebutkan bahwa mereka thawaf  ifadhah dan tidak sa'i untuk haji, berarti mereka masih harus sa'i lagi, karena ia adalah rukun haji berdasarkan pendapat yang kuat dari para ulama, dan mereka juga masih harus menyembelih hadyu,  karena haji tamattu'. Wajibnya adalah menyembelihnya di di hari-hari ied (hari raya) atau tasyriq (11-13 Dzulhijjah), di Makkah atau di haram. Dengan demikian, berarti mereka mesih harus menyempurnakan haji dengan kembali ke Makkah dan sa'i antara bukit Shafa dan Marwah juga menyembelih hadyu yang menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu. Adapun yang tidak mampu maka hendaknya berpuasa sepuluh hari, kemudian setelah sa'i thawaf wada' dan kembali ke negeri masing-masing.

 

Soal:

Seorang penanya menanyakan: Apakah thawaf  ifadhah dapat mengganti thawaf wada', seorang penanya yang bernama Rizk Aidhah seorang Hadhrami pada hari terakhir haji bertanya; kami thawaf haji dan sa'i, lalu pergi ke Jeddah dan Madinah di hari yang sama ketika kami keluar dari Masjidl Haram dan tidak lagi thawaf wada'. Teman-teman yang bersama kami mengatakan thawaf  ifadhah sudah mencukupi thawaf wada'?

 

Jawab:

Ya, thawaf  ifadhah jika diakhirkan pelaksanaanya hingga saat akan keluar dari Makkah kemudian thawaf dan sa'a, kemudian keluar saat itu juga, maka hal itu telah mencukupi thawaf wada', karena thawaf wada' itu maksudnya adalah saat terakhir seseorang di Baitul haram. Hal itu bisa terpenuhi dengan thawaf  wada' tersendiri atau dengan thawaf ifadhah yang merupakan rukun haji. Yang sama dengan perkara ini adalah masalah shalat tahiyatul masjid, yang mana Rasulullah SAW memerintahkan orang yang masuk Makkah agar shalat dua rakaat, dan melarangnya duduk hingga telah shalat dua rakaat, namun meski demikian, jika ia masuk sedang imam telah masuk shalat, lalu ia ikut shalat bersama imam dengan niat shalat fardhu, maka kewajiban tahiyat masjidnya gugur, seperti itu pula jika thawaf  ifadhah saat akan keluar dari Makkah, maka thawaf wada' menjadi gugur, karena maksud dari thawaf wada’ telah terpenuhi dengan thawaf ifadhah yang dilakukan sebagai saat terakhir di Baitul haram.

 

 

Soal:

 Seseorang haji dalam keadaan memiliki hutang, apakah hajinya diterima?, dan apakah orang yang haji atas nama istrinya yang meninggal diterima untuk istrinya?

Jawab:

Ya, orang yang haji sedang ia memiliki hutang, maka hajinya diterima, karena bersihnya seseorang dari tanggungan hutang bukanlah syarat sahnya haji, namun kami mengatakan: barang siapa memilki hutang yang telah jatuh tempo, maka hendaklah ia menunaikanya sebelum berangkat haji, karena wajib hukumnya membayar hutang terlebih dahulu daripada kewajiban haji. Jika hutangnya masih belum jatuh tempo sedang ia memilki kemampuan untuk menutupinya, lalu meminta izin dari yang berpiutang, maka ia boleh berangkat haji dan tidak ada dosa baginya, karena ia mampu untuk membayarnya di masa depan. Adapun haji atas nama istrinya diterima jika diniatkan untuknya dan mengatakan ketika niat ihram: Labbaika An-zaujaty Fulanah, kalaupun tidak menyebut namanya tidak mengapa, niatnya telah mencukupinya.

 

Soal:

Surat ini datang dari Al-Quwai'iyah dari seorang yang bernama Abdullah bin Bathi' Al-hishan, ia berkata dalam suratnya: Beberapa tahun yang lalu saya menunaikan kewajiban haji. Alhamdulilah… saya telah melaksanakan seluruh wajib haji dan rukunnya, kecuali pada hari kedua dari hari ied saya tidak dapat melempar jumroh disebabkan padat, pada hari itu saya pergi ke Masjid Haram untuk menunaikan thawaf haji, namun saya tidak bisa kembali ke Mina pada hari itu melainkan di waktu malam yang akhir disebabkan sangat padat, karena itu saya tidak bisa melempar jumrah hari itu dan baru dapat melaksanakanya pada hari ketiga, bagaimana hukumnya?

 

Jawab:

Hukumnya tidak mengapa, apa yang Anda lakukan itu tidak mengapa jika memang  tidak bisa melempar pada hari pertama dan melempar pada hari kedua, maka Anda tidak berdosa. Kalau saja ketika Anda sampai di Mina pada malam hari itu Anda melempar, maka hal itu lebih utama dari pada mengakhirkannya hingga hari berikutnya, karena malam itu mengikuti siangnya dalam masalah melempar, lebih-lebih jika memang ada udzur, seperti kepadatan, kesusahan dan keterlambatan diMakah dll, kalau sekiranya ketika anda datang dari Makkah langsung pergi ke tempat jumrah dan melempar pada malamnya, maka itu lebih baik daripada mengakhirkannya ke hari yang berikutnya, tapi bagaimana pun juga apa yang telah Anda lakukan adalah cukup, Insya Allah. 

Masuk